Mereka yang Memilih Dekat dengan Kematian
Para juru kunci makam sedang melaksanakan tugasnya. (Sumber: Mutiara Fauziah)
Mengabdi
adalah hal yang suci. Pemaknaannya bisa sangat luas dengan alasan yang beragam.
Di saat manusia lain lebih memilih keuntungan duniawi, masih banyak sosok yang
memutuskan untuk mengesampingkan itu semua dan memilih jalan sunyi.
Mereka
menjalani alur yang berbeda. Memilih untuk mengakrabkan diri dengan sesuatu
yang pasti bagi semua makhluk, yakni kematian. Menyaksikan bagaimana
tubuh-tubuh yang sejatinya tercipta dari tanah kembali ke tanah. Menjaga tiap
inci tanah gembur menutup akhir hidup manusia.
Mereka
adalah sang juru kunci makam. Sosok yang presensinya seringkali tak
diperhitungkan di antara hiruk pikuk zaman yang terus melaju. Beruntung, kami
berkesempatan untuk bertemu dengan tiga juru kunci yang telah lama mengabdikan
diri untuk pekerjaan mulia ini. Ketiganya berangkat dari latar belakang yang
berbeda dengan alasan yang beragam.
Makam
Taman Wijaya Brata
Makam Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara. (Sumber: Delima Purnamasari) |
Peristirahatan
ini adalah kompleks pemakaman bagi keluarga Taman Siswa. Di sini terdapat makam
dari Ki Hajar Dewantara sekaligus istrinya, Nyi Hadjar Dewantara. Makam ini
juga menerima ketua cabang atau pengurus yayasan dari daerah lain bila mereka
ingin dimakamkan di sini.
Salah
satu juru kunci di kompleks ini adalah Sarimin. Sebagai lulusan Madrasah Aliyah
IAIN, Sarimin mengaku bahwa bekerja di Yayasan Taman Siswa bukanlah hal yang
mudah. Di antara tiga orang pelamar, ia berhasil diterima untuk bekerja.
“Mula-mulanya
saya di kantor. Kerjanya setiap hari dari jam 07.30-10.00 lalu ke kantor sampai
jam 13.00 dan baru pulang. Terus dipasrahi (untuk bekerja) di makam. Jadi,
kalau di Taman Siswa harus siap,” jelas pria berusia 60 tahun itu.
Apabila
dilihat, terdapat berbagai bentuk makam. Terkait variasi ini, Sarimin memberikan
penjelasan. “Untuk bentuk makamnya sendiri bisa menurut kemampuannya
masing-masing. Kalau mau dibuat dari marmer silakan. Tapi saat ini saya sedang coba
susun biar agak seragam.”
Sebagai
makam para pejuang bangsa, Taman Wijaya Brata kerap kali dijadikan tempat
berbagai acara. Misalnya, Ziarah Nasional Tingkat Provinsi yang biasanya
dihadiri Kapolda, Kejaksaan, hingga TNI AU dengan iring-iringan drumben dari
para siswa SMP maupun SMA. Namun, akibat dari pandemi, kegiatan ini ditiadakan.
Mengetahui
hal tersebut, kami penasaran mengenai pengaruh pandemi terhadap pekerjaan
seorang juru kunci. Jika mayoritas pekerja memiliki opsi Work from Home
(WFH), hal tersebut tidak berlaku bagi para juru kunci. Selama pandemi, Sarimin
dan kedua rekannya tetap bergantian berjaga piket seperti biasa.
Sebagai
sosok yang bertanggung jawab atas banyak agenda di sini, Sarimin mengaku tidak
pernah mengharapkan balasan apapun. Gaji yang ia terima diberikan sesuai
kemampuan yayasan dan tak pernah membuatnya merasa kekurangan. Di tahun 1985,
dengan upah hanya 20 ribu/bulan, ia bisa menghidupi keluarga kecilnya meski
harus dibantu oleh sang istri yang membuka warung di rumah. Niatnya hanya satu,
yakni mengabdi.
Sarimin
ingin memastikan bahwa pesan Ki Hajar Dewantara yang meminta agar makam
senantiasa bersih, rapi, dan tidak terlihat menakutkan bisa terus terjaga.
Menurutnya, mereka yang bekerja di makam hatinya harus betul-betul mengabdi.
“Kalau
tidak diniati mengabdi, kenapa setiap hari mau cuma lihat nisan-nisan? Kalau
orang yang nggak mengabdi, ya nggak mau,” tuturnya.
Saat
disinggung mengenai hal-hal mistis yang kerap diidentikan dengan pemakaman,
Sarimin mengelak. Ia sendiri telah terbiasa membuka liang-liang kuburan lama
karena sistem penguburan yang berlaku adalah makam tumpuk. Meskipun begitu, tak
pernah sekalipun ia mendapati kejadian aneh selama bekerja.
“Meski
ruangnya masih sama, mulai 2011 kita mulai menggunakan sistem makam tumpuk.
Ketika membuka liang, saya memohon kepada Allah agar prosesinya berjalan lancar
dan tidak terhalang suatu apapun. Saya kalo mau mengerjakan apapun, kepercayaan
saya cuma baca bismillah saja. Nggak perlu aneh-aneh. Saya itu sama orang mati
nggak takut karena saya cuma belum saatnya saja,” tegasnya.
Meskipun
telah mengabdi selama kurang lebih 37 tahun, Sarimin menuturkan bahwa para juru
kunci tidak bisa dimakamkan di sini. “Memang dulu bisa. Tapi peraturan kan
berubah. Kalau semua boleh dimakamkan di sini nanti penuh. Saya terserah anak
saya mau dimakamkan di mana yang penting tidak memberatkan,” papar ayah dari
dua anak ini.
Pada
akhir obrolan, Sarimin menyambut baik bincang-bincang ini. “Saya malah senang
dikunjungi oleh anak-anak muda. Kalau yang muda nggak datang berkunjung, siapa
lagi? Pemuda harus tahu sejarah Ki Hajar Dewantara. Tanpa beliau, nggak ada
pendidikan seperti sekarang,” pungkas Sarimin.
Makam Agung Mataram Kotagede
Gerbang menuju Makam Agung Mataram Kotagede. (Sumber: Delima Purnamasari) |
Makam
ini berada di belakang Masjid Gede Mataram Kotagede. Di sini menjadi tempat
peristirahatan para peletak dasar Kerajaan Mataram Islam, seperti Ki Gede
Pemanahan dan Sultan Hamengku Buwana II.
Salah
satu abdi dalem juru kunci di sini adalah Surabudaya.
Sejak 2005, kakek dari dua orang cucu ini telah ikut menjaga makam. Awalnya, ia
bergabung karena ada abdi dalem yang meninggal sehingga mereka kekurangan
orang.
“Jadi,
dulu di sini ada yang meninggal. Abdi dalemnya jadi berkurang. Akhirnya, saya bergabung
karena saya lahir di sini. Saya ini tidak ikut membangun, tetapi bisa ikut
menjaga saja sudah menjadi suatu kebanggaan,” ujar pria dengan nama asli Sarimin
ini.
Surabudaya
mengaku bahwa tugas yang diembannya sebagai juru kunci tak jauh dari menjaga
kebersihan dan kelestarian bangunan serta mendoakan siapa pun yang dimakamkan.
Tradisi seperti haul panembahan senopati, tahlil bersama, hingga membersihkan
sendang yang merupakan dawuh dari keraton juga masih terus dilaksanakan oleh ia
dan rekan-rekannya.
“Yang
jelas sifat kita sebagai abdi dalem itu cuma meluruskan. Kalau di makam itu
pada intinya ya mendoakan para leluhur yang di makamkan di sini. Kalau yang
aneh-aneh itu justru datang dari pengunjung sendiri,” ungkap pria 52 tahun ini.
Makam
memang kerap diidentikan dengan hal-hal mistis. Menanggapi hal ini, Surabudaya
justru melayangkan sebuah tantangan. “Daripada saya cerita, buktikan saja.
Nanti malam datang saja Mbak untuk membuktikan mistis tidaknya. Nanti akan tahu
dan merasakan sendiri. Yang aneh-aneh itu nggak akan mengginggit, nggak akan
mendekat. Kenapa takut? Kita seringkali takut hanya karena pikiran dan
bayangannya sendiri. Kami ini kalau di kampung juga bagian penguburan. Belum
pernah ada kejadian aneh-aneh. Itu cuma cerita bohong. Itu nggak ada.”
Menurut
Surabudaya, tercatat ada kurang lebih 16 orang yang menjaga makam di bawah
Keraton Surakata dan Yogyakarta. “Setiap harinya ada tiga orang dari Surakarta
dan tiga orang dari Yogyakarta. Kalau jam buka, ada tambahan sepuluh orang
penjaga. Jadi, kurang lebih ada 16 orang, laki-laki semua. Kalau ibu-ibu
tugasnya membantu pengunjung perempuan yang ingin masuk makam untuk ganti
baju,” tuturnya.
Setiap
pengunjung yang ingin memasuki makam memang harus mematuhi beberapa peraturan.
Contohnya, memakai baju adat dan tidak diperkenankan mengambil foto ataupun
video di dalam kompleks. Saat menanyakan pada Surabudaya, ia menjelaskan bahwa
hal ini adalah aturan dari Keraton. “Jadi, kita itu sebagai batur. Sebagai abdi
itu cuma sendiko dawuh atas apa yang sudah diputuskan dari keraton,” jelas pria
kelahiran tahun 1970 ini.
Puluhan
tahun mengabdi di Makam Agung ini, Surabudaya mengaku tidak merasa jenuh. Ia
menjelaskan bahwa setiap harinya ia selalu bisa bertemu dengan orang yang
berbeda-beda. Meskipun selama pandemi, jumlah pengunjung memang mengalami penurunan.
Dalam
mengemban tugas ini, Surabudaya hanya mendapatkan upah 20 ribu setiap bulannya.
Ia meyakini bahwa rezeki sudah ada yang membagi dan ia tidak pernah merasa
kekurangan. “Setelah bekerja, semuanya kita serahkan kepada Allah. Ya sudah.
Yang membagi rezeki sudah ada. Jadi, hidupnya akan nyaman dan tidak menggerutu.
Kalau kita kerja terpacu dengan uang, kerjanya pasti jelek. Coba dibuktikan,
bisa itu,” tegasnya.
Selama
menuturkan kisahnya, Surabudaya selalu menekankan pada keikhlasan. Menjadi abdi
dalem yang menjaga makam adalah pilihan yang selalu ia syukuri. Baginya,
kehidupan yang dijalani memang harus didasari oleh keikhlasan.
“Jadi,
kehidupan itu bagaikan sayur. Sebagai abdi dalem, katakanlah kita termasuk yang
paling rendah, seperti laos dan salam. Namun, kalau tidak dipakai, sayur itu
tidak enak. Padahal setelah sayur itu matang, laos dan salam itu cuma dibuang.
Ini namanya kehidupan,” ujar pria yang sempat aktif bekerja menjadi pengrajin
emas dan perak ini.
Hidup
berdekatan dengan kematian membuatnya yakin bahwa hal ini adalah tanggung jawab
kemanusiaan. “Seumpama nggak ada yang mengurus mereka yang meninggal, lalu
bagaimana? Paling cuma dimakan anjing atau lalat. Ini tuntutan kemanusiaan,”
Bagi
Surabudaya, individu perlu mendekatkan diri dengan budaya. Dengan demikian, akan
mengarahkannya pada akhlak yang berada dalam koridor kehalusan, terlebih bila
dimaknai dengan landasan agama. “Hidup itu harus membawa etika. Kita harus bisa
saling menghargai,” pesannya.
Tempat Pemakaman Umum Cieunteung
Kondisi TPU Cieunteung. (Sumber: Mutiara Fauziah) |
Makam
ini berlokasi di Tasikmalaya, Jawa Barat. Tidak seperti dua makam sebelumnya, Tempat
Pemakaman Umum (TPU) yang berlokasi di daerah Cieunteung ini adalah kompleks
pemakaman yang berada di bawah Dinas Lingkungan Hidup. Tampak gapura besar
berwarna kuning menyambut siapa pun yang akan berziarah, lengkap dengan poster
protokol kesehatan dan aturan pemungutan retribusi.
Di
sana, bisa ditemui Aris Hidayat. Salah seorang juru kunci yang telah mengabdi
di TPU Cieunteung sejak tahun 2000. Sebelumnya, ia adalah pegawai kontrak
sebelum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 2008.
Ia
mengaku bahwa pekerjaannya menjadi juru kunci makam datang dari keinginannya
sendiri. “Kalau dulu mah yang penting kerja dulu. Mau di tempat manapun yang
penting ada pekerjaan. Nggak memandang profesi,” ungkapnya.
Membersihkan
makam, memungut retribusi, hingga membantu prosesi penguburan adalah makanan
sehari-hari. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, terutama bila mengingat
lokasi makam yang sudah sangat padat. Meskipun berdiri di atas lahan seluas dua
hektar, TPU Cieunteung sudah tidak lagi menyisakan banyak tempat. Menurut
penjelasan Aris, lokasi kompleks pemakaman di sini memang sudah ada sejak lama.
“Ada
makam dari tahun 1902 dan 1903. Cuman nggak tahu kondisi dulunya bagaimana. Pokoknya
memang sudah jadi makam dari dulu,” ujarnya.
Di
makam ini dapat pula ditemui beberapa kuburan menarik. Atapnya dibentuk seperti
rumah, kuburan dengan pagar yang menimbulkan kesan eksklusif, hingga kuburan
dengan hiasan ornamen tertentu.
“Memang
kalau dulu masih boleh dibikin pagar seperti itu. Kalau sekarang sudah nggak
boleh. Daripada tanahnya dibangun pagar, lebih baik untuk mayat,” kata Aris.
Aris
mengaku bahwa banyak warga sekitar TPU yang memilih memakamkan keluarganya di
sini karena alasan jarak yang dekat. Hal ini berdampak pada jam kerja yang
tidak mengenal waktu libur. Jam kerja ini menjadi bagian dari suka duka yang ia
alami.
“Harus
bisa cepat. Orang yang dimakamkan kan tidak mungkin bisa ditunda-tunda. Mau
hujan, panas, malam, siang, nggak mengenal waktu,” ujar pria yang telah menjadi
juru kunci selama 17 tahun ini.
Meski
demikian, Aris tidak memiliki niat untuk berganti profesi. “Kalau ditinggal
atau disambi gitu kasihan. Kalau kita mau tinggalin makam, aduh gimana. Bukan
karena enak disini, tapi karena sulit untuk meninggalkan sebab nggak ada yang
mau menggantikan,” tutur Aris.
Ia
juga mengungkapkan bahwa ia tidak bekerja sendiri dalam mengurusi TPU. Ia
dibantu oleh dua orang THL dan petugas kebersihan. Semuanya berada di bawah
Dinas Lingkungan Hidup dan secara penghasilan juga berasal dari dinas.
Para juru kunci di TPU Cieunteung. (Sumber: Mutiara Fauziah) |
Sama
seperti dua juru kunci sebelumnya, ia menegaskan kembali bahwa tidak ada
hal-hal aneh yang terjadi selama ia bekerja. “Nggak pernah ada. Tapi kalau
orang yang datang buat mengambil tanah makam bahkan sampai tidur di makam, itu
sering dan banyak. Kalau saya sih, asal jangan mengganggu dan tidak merusak
makam ya tidak apa-apa. Kadang mereka memang cuman ikut tidur aja,” ungkapnya.
Perjumpaan
kami dengan Aris menutup agenda ziarah kali ini. Tiga sosok dengan latar
belakang yang berbeda, alasan yang tak sama. Namun, memiliki satu tujuan serupa,
yakni mengabdi. Akhir dari semua pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan
selalu menjadi sebuah pengingat bahwa keikhlasan menjadi makna yang begitu penting.
Tak
ada salahnya bila mencoba untuk kembali berziarah. Duduk di antara pusara, mendoakan
ciptaanNya yang sudah lebih dulu menyatu dengan asal kita semua, yaitu tanah. Karena
dekat dengan kematian, nyatanya justru bisa membuat orang jadi lebih menghargai
hidup. (Delima Purnamasari, Mutiara Fauziah Nur Awaliah)
Editor:
Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu