Nyadran, Perpaduan Tradisi dan Dakwah Islam yang Terus Eksis
Makam Pracimalaya yang menjadi salah satu permakaman terbesar diYogyakarta. (Sumber: Fayya) |
Menjelang
bulan Ramadan, masyarakat Jawa biasanya akan datang berziarah ke pusara para
leluhur dan sanak keluarganya. Tradisi yang terus dilakukan ini disebut dengan Nyadran.
Kata Nyadran sendiri berasal dari bahasa Sanskerta,
“sraddha” yang berarti keyakinan. Tradisi ini biasanya dilakukan pada hari
ke-10, 15, 20, atau 23 bulan Ruwah menurut kalender Jawa atau bulan Sya’ban
menurut kalender Hijriah.
Tradisi ini merupakan wujud akulturasi kebudayaan
Hindu Buddha dengan Islam. Sejak abad ke-15, para Wali Sanga menggabungkan dua
kebudayaan tersebut agar dakwah Islam lebih mudah diterima masyarakat. Ini dilakukan
untuk menghindari benturan dengan kebudayaan sebelumnya. Oleh sebab itu, para
wali menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, seperti membaca tahlil
dan doa. Terlebih, pemujaan roh dinilai musyrik dalam Islam.
Di Kampung Kuncen, Kelurahan Pakuncen, Kecamatan
Wirobrajan, Yogyakarta, ada satu pemakaman yang cukup terkenal. Ini merupakan salah satu pemakaman
terbesar di kota Yogyakarta karena luasnya mencapai 11 hektare. Makam
yang dimaksud adalah Pracimalaya atau disebut juga makam Kuncen. Makam ini terletak di
kompleks Masjid Kuncen Yogyakarta.
Nur Syamsi, salah satu juru kunci Makam Pracimalaya. (Sumber: Fayya)
Menurut Nur Syamsi, salah seorang juru kunci, di Pracimalaya
terdapat makam berusia tua yakni sejak tahun 1700-an.
“Ada makam Simbah Sri Sultan di sini. Makam Nyai Ageng Derpoyudo, Bibinya
Panembahan Senopati,” ujarnya ketika bercerita tentang sejarah makam Kuncen.
Pelaksanaan Nyadran di setiap daerah bisa berbeda-beda.
Jika di beberapa daerah Nyadran dilakukan secara kolektif, di kampung Kuncen peziarah
hanya membersihkan pusara sanak keluarga, mengirim doa, dan menabur bunga.
“Nyekar
itu sama saja dengan Nyadran. Kalau di sini, Nyadrannya hanya seperti ziarah
kubur. Bedanya dilakukan sewaktu bulan Ruwah. Itu pun hanya dengan memakai
kembang. Bukan Nyadran dalam bentuk sedekah bumi. Dari dulu seperti itu,” tutur
pria yang telah menjadi juru kunci selama 14 tahun ini.
Nur
juga menjelaskan bahwa mereka yang melakukan tradisi Nyadran tidak hanya dari
umat muslim saja. Namun, anggota yang beragama Nasrani juga turut serta.
Menurutnya, hal ini terjadi karena tradisi Nyadran dilakukan sebagai bentuk
penghormatan dari yang masih hidup kepada sanak keluarga yang telah meninggal
dengan mendoakan dan merawat pusaranya. Dengan demikian, tidak terikat dalam
menyambut bulan Ramadan semata.
Dulu
sebelum masa pandemi, para peziarah bisa berdatangan setiap hari khususnya pada
bulan Ruwah. Mereka terkadang tidak datang sendiri, tetapi dengan keluarga
besar yang bisa mencapai 100 anggota. Akan tetapi, adanya pandemi membuat hanya
warga lokal saja yang datang melaksanakan tradisi ini.
Suasana kompleks Masjid Kuncen. (Sumber: Fayya)
Menurut
Nur, hal ini disebabkan adanya kesadaran masyarakat atas Covid-19. Kalau pun
ada peziarah, jumlahnya berkurang. Juru kunci dan peziarah sudah saling sadar
akan protokol kesehatan. Mereka akan saling berjaga jarak dan terus memakai
masker sekali pun hanya dengan keluarga sendiri. Selain itu, pihak masjid juga
menyediakan hand sanitizer serta tempat untuk cuci kaki dan tangan
dengan sabun. Ini diletakan di pintu keluar dan masuk area masjid maupun pemakaman
Kuncen. Kesadaran dari berbagai pihak yang terlibat ini lah yang membuat pelaksanaan
tradisi Nyadran masih bisa bertahan di tengah pandemic meski dengan sedikit
penyesuaian.
Salah
satu tenaga kesehatan di kota Yogyakarta, Sumaryati terus mengingatkan bahwa pelaksanaan
tradisi yang menghimpun massa harus dihentikan untuk sementara waktu. Tentu
berada di dalam kerumunan membuat tubuh lebih berisiko terpapar Covid-19. Meski
telah terjadi penurunan kasus, virus ini masih bisa menyerang siapa saja. (Diah
Rahayu Agustin, Fayyaqun Nur Amanah)
Editor:
Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu