Masjid Kampus dalam Belenggu Dapur Radikalisme
Masjid kampus lawan radikalisme
Jika menilik dari aspek historis, masjid di lingkungan kampus bukanlah hal utama dalam prioritas pembangunan perguruan tinggi. Masjid muncul karena kebutuhan dan diperlukannya tempat ibadah di dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, keberadaannya pun tidak menduduki tempat-tempat strategis seperti halnya perpustakaan ataupun gedung rektorat. Namun, dalam aspek perkembangan pendidikan di kampus, masjid memiliki peranan yang cukup sentral dibandingkan tempat-tempat seperti perpustakaan sebab selain tempat dakwah juga menjadi tempat studi keagamaan.
Sayangnya, saat ini masjid-masjid di kawasan perguruan tinggi juga menjadi tempat indoktrinasi ideologi. Kampus sejak zaman orde baru adalah salah satu basis ladang radikalisme yang cukup strategis. Namun karena ruang-ruang kebebasan masih dibatasi oleh rezim orde baru, bibit-bibit radikalisme pada saat itu tidak bisa tumbuh secara progresif. Seiring berjalanya waktu, hal ini seakan menjadi bom waktu yang tak bisa dihindari. Setelah rezim orde baru terguling dan muncul gerakan reformasi, gerakan-gerakan radikal seakan menemukan angin segar dan tumbuh subur di lingkungan kampus. Di sini, peran masjid menjadi sangat berpengaruh.
Korelasi antara masjid kampus dengan kalangan radikalis dapat dilihat dari bagaimana masjid terbukti efektif untuk menyebarkan syiar dan pemahaman khususnya kepada lingkungan sekitar kampus. Hal ini terjadi mengingat perannya yang begitu sentral. Maka dari itu, moderatisasi masjid di kampus-kampus menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Jika lalai dan tidak memperhatikan dinamika takmir hingga manajemen masjid, kalangan radikal akan menjadikan masjid kampus sebagai dapur untuk meracik radikalisme di perguruan tinggi.
Mahasiswa dan radikalisme
Masjid-masjid kampus di berbagai perguruan tinggi juga mengintegrasikan organisasi keagamaan yang mengatasnamakan himpunan islam atau Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Jika diperlukan, organisasi-organisasi tersebut perlu ditata dengan baik mengingat kelompok ini juga memiliki hubungan yang masif dengan dunia luar. Organisasi-organisasi tersebut menjadikan masjid sebagai pusat peradaban, pendidikan, dan sebagai institusi sosial. Apalagi jika diselisik lebih dalam di berbagai kampus, mereka kerap kali melakukan open recruitment pengurus masjid bagi mahasiswanya dengan kriteria mahasiswa tertentu seperti layaknya perekrutan suatu organisasi masyarakat.
Terlebih lagi bila masjid termasuk dalam Organisasi Tata Kelola (OTK) Kampus yang dikelola independen. Pihak kampus tidak bisa mengontrol takmir karena tak termasuk otoritas kampus meski lokasinya berada di lingkungan kampus. Selain itu, kampus tidak bisa mengontrol siapa yang menjadi pemateri berbagai dakwah yang dilakukan di masjid. Faktanya, semua lepas dari pantauan dan intervensi kampus sebagai lembaga yang menaunginya.
Jika di dalam tubuh masjid tidak dibenahi bahkan diacuhkan oleh kampus, tidak menutup kemungkinan jika masjid menjadi dapur radikalisme. Dengan demikian, perlunya moderasi di dalam masjid agar elemen-elemen didalamnya tidak liar dan menjadi radikal. Jangan sampai masjid kampus menjadi salah satu tempat indoktrinasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Tentunya hal ini perlu dilakukan dengan moderat tidak memihak terhadap kelompok tertentu.
Dikutip dari Sindonews.com pada tahun 2020, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan temuan yang cukup mengejutkan. Ditemukan sekitar 85% generasi milenial rentan terpapar paham radikal. Hal ini sejalan jika dilihat dengan realitas saat ini. Dalam berbagai gerakan mahasiswa, telah banyak hadir berbagai istilah mulai dari, islam murni, islam fundamentalis, hingga islam militan. Walaupun dalam penyebutannya berbeda-beda, tetapi istilah-istilah tersebut memiliki ciri yang sama, yakni memahami agama secara saklek, dogmatik, dan tekstual. Militansi kelompok semacam ini perlu diwaspadai karena seringkali mereka tidak mudah menerima perbedaan dan menyalahkan yang tidak sepemahaman dengan kelompoknya atau bisa dikatakan intoleran.
Sebagai langkah preventif dalam pencegahan radikalisme khususnya di perguruan tinggi, pengawasan dapat dilakukan dengan memantau, melakukan pendampingan dan pembinaan aktivitas, pengelolaan masjid secara intensif. Di samping itu, organisasi terkait atau kelompok yang terintegrasi dengan masjid dapat dipantau secara berkala dan diberikan pengarahan agar tidak keluar jalur. (Dzika Fajar Alfian Ramadhani)
Editor: Mutiara Fauziah Nur Awaliah
Tulis Komentarmu