Aliansi Rakyat Bergerak Tuntut Polisi Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan
Massa berkumpul untuk menyalakan lilin sebagai simbol duka atas tragedi Stadion Kanjuruhan. (Sumber: Mutiara Fauziah Nur Awaliah) |
Korban jiwa terus berjatuhan karena
penembakan gas air mata oleh aparat keamanan pasca-usainya pertandingan
Persebaya vs Arema pada Senin (01/10/2022) lalu. Aliansi Rakyat Bergerak menilai
pencopotan jabatan tidak menjadi solusi atas insiden yang menewaskan 131 nyawa
tersebut. Mereka menganggap bahwa institusi seperti Polri tidak mungkin
melakukan tindakan tanpa komando. Padahal dalam aturan FIFA Stadium Safety and
Security Regulatiom, gas air mata sendiri merupakan senjata yang dilarang untuk
mengamankan massa.
“Kita ini sama-sama manusia. Entah 100
atau 200 orang, itu semua jumlah nyawa,” ungkap Toni, salah satu demonstran.
“Bagi saya, solusi yang benar adalah dengan melakukan investigasi mendalam.
Siapa yang salah? Pihak yang bertanggung jawab atas kejadian ini, copot
jabatannya, kenakan pidana,” lanjutnya.
Orasi disampaikan oleh salah satu demonstran. (Sumber: Mutiara Fauziah Nur Awaliah) |
Selain Polisi, Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI) pun harus bertanggung jawab, demikian pula dengan panitia penyelenggara. Pernyataan pihak kepolisian yang menawarkan anak korban untuk
menjadi polisi justru menuai banyak kontra. Hal tersebut disuarakan oleh
salah satu demonstran.
“Itu bukan menyelesaikan masalah. Menawarkan
anak korban menjadi polisi berarti menghilangkan tuntutan kita. Kita menuntut untuk
mengadili pelakunya, bukan menjadikan anak korban jadi polisi. PSSI menjatuhkan
sanksi kepada Arema, sekitar 200 juta. Nah, sebaiknya uang itu dialihkan kepada
keluarga korban,” jelas perwakilan Lingkar Studi Sosialis, Maler.
Seruan aksi malam itu dijaga cukup ketat
oleh pihak kepolisian. Tidak hanya mengawasi salah satu jalur Ring Road Utara
sebagai tempat aksi, keamanan juga diperluas hingga ruko-ruko sekitar Gedung
Polda DIY. Meskipun demikian, agenda tetap berjalan dengan penyampaian orasi
dan doa bersama bagi para korban.
“Diawasi oleh banyak polisi, perasaan
takut itu pasti ada. Tapi kan kita harus melihat bahwa ada hal yang lebih besar
daripada ketakutan itu. Ada masalah yang harus disuarakan. Jadi, kita nggak bisa
diam. Kalau semua diam, masalahnya bisa tambah buruk,” ujar Toni. Ia berpendapat
bahwa sebaiknya ada pembenahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap
kurikulum pendidikan mereka.
“Harus dipastikan pendidikan polisi itu
betul-betul menggunakan pemahaman HAM. Mereka harus dididik untuk menghargai
masyarakat. Saya pikir masih panjang perjalanannya, mungkin nggak akan tuntas
dalam dua atau tiga tahun. Tapi ini mulai pelan-pelan, makanya didorong
terus,” harapnya. (Mutiara Fauziah Nur
Awaliah)
Editor:
Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu