Membumikan Tabayun dalam Dialog Modernisasi, Budaya, dan Agama di Pondok Pesantren Kaliopak
Kegiatan Institut Akhir Pekan di Pondok Kaliopak. (Sumber: Panitia Institut Akhir Pekan) |
Deretan
rumah di kanan-kiri hanya diterangi lampu jalan putih temaram. Jarum jam hampir
mencapai angka delapan, waktu kesepakatan kami untuk bertemu. Sedangkan saya,
masih harus tersesat meski sudah bermodalkan peta digital. Saya baru sampai di
lokasi usai bertanya pada dua orang warga sekitar. Beruntung tidak terlambat.
“Kalau
malam di sini buka warung kopi,” jelas Mathori Brilian. Wah, menarik. Batin
saya. Laki-laki berusia 27 tahun tersebut adalah Manajer Program dari Pondok
Pesantren Kaliopak.
“Tapi
pada praktiknya kita bareng-bareng, kok. Kita bukan satu lembaga yang sangat
formal. Kamu bisa dan punya jasa apa? Jadi, bukan seperti perusahaan,” tambah
Mathori.
Sembari
menikmati segelas minuman racikan Warung Kopi Kalimasada dan sayup-sayup suara aliran
Sungai Opak, satu jam lebih saya habiskan untuk berbincang. Utamanya tentu
mengenai pondok. Kebudayaan yang dijadikan sebagai medium utama untuk
mentransfer pengetahuan memancing ketertarikan saya sedari awal. Praktik ini
jadi hal yang sedikit berbeda dari pesantren kebanyakan.
Sistem
kebebasan dan ketakwaan
Pondok
ini mengidentifikasi diri sebagai pesantren kebudayaan. Teater, musik, seni
rupa, sampai sastra adalah sarana mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Tempat
ini memadukan dua hal yang seringkali dianggap bertolak belakang.
“Agama
dan budaya itu bukan air dan minyak yang tidak bisa dicampurkan,” tegas
Mathori.
Laki-laki
yang telah bergabung di pondok sejak 2015 ini menjelaskan jika timbulnya pertanyaan
mengenai cara mengkolaborasikan budaya dan agama menunjukan adanya mis-pemahaman.
Budaya seringkali dilihat sebagai sesuatu yang primitif dan aneh. Padahal menurutnya,
keduanya sama-sama baik.
Ia
mencoba memberi pemahaman dan menyebutnya sebagai cerita latar belakang. Ini
jadi modal awal untuk mengenal dan memahami pondok pesantren. “Budaya itu harus
dilihat secara holistik. Mulai dari sikap, perkataan, kebijaksanaan, sampai kontribusinya
dalam lingkungan,” kata Mathori.
Pondok
Pesantren Kaliopak berdiri di Piyungan, Bantul, Yogyakarta. Bangunan utamanya berbentuk
semacam joglo. Bagi orang yang baru pertama kali datang seperti saya, mungkin
akan mengiranya sebagai pedepokan. Uniknya, tidak ada pagar yang dipasang di
halaman.
“Semua
orang itu boleh masuk di sini. Terbuka 24 jam. Kita bareng-bareng. Tidak ada
yang paling-paling, pokoknya saling membangun nilai ketakwaan,” Mathori
menjelaskan.
Berawal
dari obrolan menyoal ketiadaan pagar, Mathori bercerita mengenai prinsip pondok
yang berupaya memadukan kebebasan dan ketakwaan. Mahasiswa lulusan teater ini
menjelaskan jika setiap orang itu memiliki kebebasan sekaligus memiliki
keterbatasan. Oleh sebab itu, perlu diatur dalam sebuah sistem yang bisa menjadi
landasan untuk mencapai suatu nilai tertentu. Dalam hal ini adalah ketakwaan. Sebagai
contoh, ketika belum lama ini marak soal piala dunia maka kebebasan untuk
menikmatinya juga harus diikuti dengan pemahaman mengenai hal-hal yang berkaitan,
seperti hukum judi bola.
Pondok
ini juga menganut adanya kebebasan dalam mencari ilmu dan pengetahuan, asalkan tidak
bertentangan dengan nilai ketauhidan. Para santri juga tidak serta-merta harus
menginap di pondok untuk mengikuti kegiatan. Jemaahnya pun beragam. Mulai dari mahasiswa,
pasca-mahasiswa, hingga yang sudah berumah tangga.
Kebebasan
ini pada akhirnya melahirkan kegiatan yang bermacam-macam. Mulai dari Sholawatan
Emprak, Ngaji Posonan dengan tema “Islam Berkebudayaan: Jalan Menemukan Diri
Secara Kosmopolitan”, sampai penerbitan buku berjudul “Islam Berkebudayaan
(Akar Kearifan Tradisi, Ketatanegaraan, dan Kebangsaan)”.
Memasuki
era klaim
Angin
beberapa kali lewat. Meski tidak menusuk tulang, ternyata kehangatan gelas saya
ikut terbawa. Mathori entah sudah menghabiskan rokok yang keberapa. Walau
demikian, obrolan kami masih terus berlanjut.
“Kita
ini berada dalam era klaim. Soal pemahaman keagamaan, dikit-dikit dikatakan
haram. Islam yang kafah itu gini. Ada pihak mengklaim dirinya paling benar dan
orang lain yang tidak membenarkan apa yang disebutnya itu berarti salah, haram,
bahkan kafir,” ungkap Mathori.
Salah
satu hal yang terjadi adalah ketika ramainya informasi mengenai wayang yang dianggap
haram. Terlepas dari dinamika beritanya, tanggapan yang diberikan Pondok Kaliopak
adalah dengan mengumpulkan para dalang. Motivasi utamanya adalah merekatkan
silahturahmi, termasuk di dalamnya memberi satu semangat, sekaligus menginventaris
data mengenai dunia pedalangan. Pondok Kaliopak ingin memberi rasa aman dan
nyaman. Berawal dari sana, Pesantren Kaliopak menjadi terkenal dengan pondok
yang sering mementaskan pagelaran wayang kulit.
“Ketika
klaim hukum haram itu terdengar oleh para pegiat wayang yang setiap malam ikut
berkarya, tentu merasa disalahkan, padahal engga kenapa-kenapa. Entah itu
dalang, sinden, sampai pengrawitnya,” jelas Mathori.
Membumikan
tabayun
“Saya
engga bisa Bahasa Jawa, Mbak. Jadi, Bahasa Indonesia aja ya,” tutur Geri
membuka percakapan di telepon.
Pemuda
asal Sumatera Barat tersebut adalah salah satu peserta dari Institut Akhir
Pekan. Program yang belum lama ini diselenggarakan oleh Pondok Pesantren
Kaliopak. “Saya tertarik dengan hal-hal yang berbau kebudayaan,” ujarnya
mengenai motivasi mengikuti kegiatan ini.
Institut
Akhir Pekan dijalankan selama tiga bulan dengan 13 pertemuan. Program ini
semacam studi dengan materi-materi tertentu. Sistem pendaftaran dan seleksi
yang terbuka memungkinkan siapa pun untuk ikut serta.
Program
ini membawa tema “Fikih Siyasah, Budaya Nusantara, dan Tatanan Dunia
(Ter)baru(kan)”. Institut Akhir Pekan mengupayakan wacana wawasan yang mandiri
di tengah arus geopolitik global sekaligus untuk menyemai pola berpikir kritis
bagi generasi muda berlandaskan akar pengetahuan nusantara.
Salah
satu materi yang dibawa adalah Dunia (ter)baru(kan) dan Dunia Digital
(Tantangan Dunia Hari ini) dengan sub-topik soal Disrupsi Digital. “Sekarang identitas
manusia itu bisa dilihat dari media sosialnya. Hal ini bisa tengok dari apa
yang dia unggah sampai yang ditulis. Entah itu di Facebook, Instagram, atau
yang lainnya,” jelas Geri.
Mahasiswa
Jurusan Ilmu Hadis tersebut mendapatkan bekal penting untuk menghadapi
tantangan tersebut, yakni dengan pengamalan prinsip tabayun. “Ketika datang
suatu berita, kita tabayun dulu. Verifikasi. Itu tuntutan syariat agar mencegah
diri kita jadi bagian berita hoaks,” tuturnya.
Ilmu
ini senantiasa dipraktikan pula. Misal dalam menyampaikan kritik yang tidak bisa
langsung dilakukan. Perlu pemahaman mendalam mengenai sejarah dan definisi
untuk membangun landasan argumen.
“Kita
dikasih bahan sebelum materi dijelaskan, kemudian kita klarifikasi dulu. Di
sana saya menemukan spiritualitas itu engga hanya kaitannya dengan agama. Tapi
masalah batin seseorang,” ujar laki-laki 21 tahun ini.
Menurut
Geri, memberikan pendidikan dunia digital kepada masyarakat juga jadi sesuatu
yang penting. Ketika media sosial, termasuk grup WhatsApp, justru jadi ruang
hoaks menyebar.
“Saya
mendapatkan suatu metode untuk melihat peristiwa secara komprehensif, utuh, dan
menyeluruh. Mereka juga tidak marah ketika dikritik dan justru membantu mencari
solusi,” ujar laki-laki yang mengaku sering menulis cerpen, opini, dan puisi
tersebut.
Gairah
literasi digital
Gagasan
mengenai modernisasi adalah jawaban pesantren akan kebutuhan transformasi
sosial. Dalam tingkat nasional, Duta Santri Nasional bersama Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI serta Siberkreasi menggelar program Ngaji
Literasi Digital. Agenda ini bertujuan untuk memberi bekal para santri agar
mampu mengisi ruang digital dengan konten yang bermanfaat dan lebih moderat.
Pondok
Pesantren Kaliopak juga demikian. Mereka memanfaatkan berbagai platform sebagai
sarana komunikasi dengan publik. Contohnya, melalui akun YouTube @Pesantren
Kaliopak dengan 3.88 ribu subscriber. Mereka mengarsipkan beraneka
kegiatan pondok dan beberapa kali membuat konten secara khusus.
“Kita
sengaja membuat beberapa konten video dengan memberikan waktu, tenaga, pikiran,
dan materi. Di luar sana banyak yang ngambil dari sana-sini terus kasih judul
yang clickbait, itu bisa dicek,” tutur Mathori.
Mathori
sendiri beberapa kali menjadi narasumber dalam kegiatan Kominfo yang membahas
soal etika, keamanaan, dan toleransi masyarakat di dunia digital. Beberapa tema
yang dibawa, yakni “Strategi Menangkal Konten Hoaks”, “Tantangan dan Strategi
Meningkatkan Toleransi Masyarakat di Dunia Digital”, sampai “Saring Sebelum
Sharing ke Media Sosial”.
“Mengawali
pembelajaran itu banyak metodenya. Dari kegiatan Kominfo itu kami lebih
menyadari kepekaan kita terhadap dampak dan fenomena yang terjadi di dunia
digital ini. Semakin canggih sesuatu maka semakin besar potensi kejahatannya,”
tutur Mathori.
Pondok
Pesantren Kaliopak juga memiliki kanal Kaliopak.com sebagai wadah informasi,
dokumentasi, dan publikasi segala aktivitas dari pondok. Media ini dikelola
secara independen dan swadaya. Selain itu, turut membuka diri untuk
berkolaborasi dalam bidang kajian, riset, pentas seni, lokakarya, dan kegiatan
kreatif lainnya.
Mereka
juga mengelola kanal CeritaSantri.id sebagai ruang apresiasi karya literasi
santri Indonesia. Ini dibangun untuk memopulerkan kebiasaan menulis dan membaca
para santri usia remaja. Sekretariat redaksinya terletak di Studio Literasi.
Suara-suara
kebaikan itu terus ada
Melalui
berbagai usaha-usaha yang dilakukan, Pondok Kaliopak berharap bisa terus
memberikan kebermanfaatan. Salah satunya datang dari Jasmine Hasna Nabila.
Mahasiswi Jurusan Politik dan Pemerintahan ini adalah Tim Kajian dari Institut
Akhir Pekan. Dia dan timnya bertugas untuk membuat Term of Reference (TOR) dan membangun
pra-wacana pada setiap pertemuan.
“Semoga
semua bisa membawa wacana baru dan bisa menyebarkan ilmu yang didapat. Selain
itu, terus semangat dan berjejaring dengan teman-teman Pondok Kaliopak lainnya,”
ungkap Jasmine.
Dirinya
mengaku kagum karena seluruh pihak bersemangat dan ikhlas dalam membuat
kegiatan yang bermanfaat untuk anak-anak muda. “Tiga bulan pada setiap akhir
pekan itu waktu yang lama. Siapa mahasiswa yang mau mengorbankan malam
Minggunya buat belajar di pondok yang jauh dari kota? Itu engga banyak,” tutur
Jasmine.
Ia
turut berkata ingin kembali bergabung jika Pondok Kaliopak membuat
program-program serupa. Menurutnya, Pondok Kaliopak meninggalkan kesan yang
mendalam.
Berbeda
dengan Jasmine, Mathori ingin Pondok Kaliopak semakin bisa mengakomodir seluruh
pihak. Dengan begitu, mereka bisa menemukan keaktualisasian dirinya. Mathori
juga mengatakan jika pondok terbuka bagi pihak-pihak yang mau ikut bergabung atau
membuat kegiatan sejenis.
“Main ke sini kita ngopi bareng. Kegiatan itu harus mempertimbangkan nilai topologi masing-masing sehingga punya nilai konsentrasi. Baik itu karakter masyarakat sampai nilai sejarah. Jadi, harus dibicarakan secara personal,” pungkasnya. (Delima Purnamasari)
Editor: Dias Nurul Fajriani
Tulis Komentarmu