Rasuk Jiwa si Nona Kesepian
Ilustrasi nona kesepian. (Sumber: Unsplash) |
Di dalam ruangan kubus bercat serba putih ini, tak ada
pintu dengan lubang kunci yang bisa dibuka. Seorang perempuan cantik memakai
gaun putih dan riasan di pipi. Ia tengah duduk termenung di lantai sambil
memegang kedua lututnya erat-erat. Kadang menangis, kadang mencorat-coret
dinding, kadang tersenyum. Dari banyaknya ekspresi, dia lebih sering melamun. Sesekali
didapati angin dingin berhembus di ruang kubus ini. Bentuknya berdistorsi mengikuti
emosi pemiliknya. Ruangan itu bergemuruh saat pemiliknya geram. Kilat
menyambar-nyambar terlihat dengan jelas. Namun, saat pemiliknya mmerasa
bahagia, tempat itu bercahaya jingga, menggambarkan pemandangan siluet mentari
terbenam. Lain waktu, kala pemiliknya ketakutan, dia akan duduk di pojokan dan menutup kedua telinganya. Menolak
mendengar bunyi-bunyian. Titisan hawa itu nyaris tak menyadari dunianya sendiri
sedang terbelah menjadi dua.
***
Dari arah dapur, kepul asap poci terlihat menari-nari. Bu Eti sedang menyiapkan keripik bayam dan teh bunga telang, jamuan wajib ketika bertamu di rumah. Ibu dari Sita ini dikenal sebagai pribadi dengan hati yang lembut dan berwajah ramah. Berbeda jauh dengan sosok sang Ibu, Sita adalah anak yang ceplas-ceplos dan sering dianggap jutek. Walaupun begitu, ia tumbuh menjadi gadis manis, berbulu mata lentik, dengan lesung pipi yang cantik.
“Nduk, dibantu Ibu bawa ini,” panggil Bu Eti dari dalam rumah. Sita bergegas menghampiri ibunya untuk membawa setoples camilan ke meja ruang tamu. Ia berjalan perlahan sambil membawa nampan ungu. Ada lima cangkir bening yang mengepulkan uap panasnya. Tanpa diminta, teman-teman Sita yakni Anto, Via, Nur, dan Andre yang tadinya diam saja diluar, mengambil tas mengerubungi Bu Eti dan Sita yang masih menata sajian.
“Ibu ke rumah Bu Retno sebentar ya. Itu camilannya dimakan. Kalau mau makan kenyang Ibu sudah siapkan nasi kucing di meja makan. Tadi Ibu beli banyak,” ucap Bu Eti dari ambang pintu. Mereka berlima spontan tersenyum dan mengangguk. Bu Eti pun bergegas pergi sambil membawa sebungkus keripik bayam.
Siapa sangka. Hari itu jadi hari mencekam dalam hidup Sita. Ibunya tak benar-benar kembali ke rumah. Sita dan keempat temannya sudah berusaha mencari keberadaan sang ibu. Tengah malam, mereka berkunjung ke rumah tetangga Sita, yaitu Bu Retno, untuk bertanya soal Bu Eti. Namun Bu Retno bahkan tidak tahu dan mengaku tidak bertemu Bu Eti dari sebulan yang lalu. Setelah itu, mereka beramai-ramai melapor kepada polisi sebab takut jika sesuatu terjadi pada Bu Eti.
***
Wanita paruh baya itu tengah tertidur lelap. Semula semua tampak baik-baik saja. Langit berwarna biru gelap, tak banyak bintang yang hadir. Sekumpulan awan tampak lebih mendominasi. Namun, tiba-tiba udara terasa sangat panas.
“Nona cantik sedang terlihat tidak sehat. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Deg...
Suara berat itu membangunkannya dari istirahat yang damai.
“Ada perlu apa datang kemari? Pergilah! Aku tidak pernah menerima tamu di jam ini,” jawabnya masih dengan mata terpejam.
“Memangnya ada orang selain aku yang bisa menerobos masuk ruangan aneh ini?” tanya sang pria. Dia berjongkok di samping si gadis.
“Sama sekali bukan urusanmu! Lagipula, aku tidak pernah menyuruhmu datang!” tegasnya sambil memalingkan wajah ke arah lain.
“Maafkan aku. Aku tahu kau kesepian, tapi sekarang Sita mencarimu. Pulanglah! Sadarkan dirimu,” ucapan si pria mengakhiri percakapan mereka. Suaranya terdengar sendu.
Tak lama dia pergi, lagi...
Tergeletak satu cincin berukuran tiga sentimeter lebih besar dari jari manis sang wanita. Cincin tersebut tampak seperti tanda perpisahan.
Gelap sekali hari ini. Aura suram memenuhi ruangan. Perempuan malang itu tengah merebahkan diri menatap kosong langit-langit. Matanya bengkak dan sembab. Manusia dengan senyum simpul yang meneduhkan hati berhasil membuatnya termangu. Gemercik air hujan turun, aroma tanah basah menguar menusuk hidung. Dasar ruangan berubah menjadi tanah.
***
Kring...
Kring... Kring...
Telepon seluler Sita bergetar berkali-kali. Sudah ada lima panggilan telepon tidak terjawab. Padahal jarak antara panggilan masuk tak jauh, tapi ia enggan saja mengangkat. Sepuluh menit berselang, pintu kamar Sita di dobrak oleh dua orang pria. Mereka geram menahan amarah. Di belakang pria-pria itu, seseorang berjalan terengah-engah ke arah Sita. Ia memegang bahu dan menggoyang-goyangkan tubuh Sita yang masih saja terlarut dalam lamunan.
“Sita!”
“Sita!!!”
“Sita!!!!”
Sita menunduk, tak ingin melihat siapapun. Orang
yang tadi ternyata Bu Retno. Tatapannya melihat Sita dengan sedih. Rupanya beliau yang sedari tadi berusaha
menelepon Sita. Di samping Sita ada Anto dan Andre yang berdiam diri, seolah
ada sesuatu yang menahan mereka untuk berkata.
“Ibu
sudah ketemu?” tanya Sita lemas. Dia tak berdaya. Ini bukan kali pertama dia
bertanya pada Bu Retno soal kondisi ibunya yang masih belum diketahui.
Bu
Retno menggenggam kedua tangan gadis malang itu. Tangannya dingin. Ditatapnya
lekat-lekat mata sendu Sita. Andre dan Anto yang duduk di dipan kasur Sita pun masih diam tak bersuara.
“Sudah...”
Sita
tak kuasa menahan air mata. Ingin rasanya dia menjerit. Ada perasaan senang
tapi juga kecewa. Dia merasa sangat beryukur.
“Keadaannya
memprihatinkan. Sekarang ini dia masih di rumah sakit ditemani Iwan.”Jelas Bu
Retno mengakhiri.
****
Om Iwan dan Psikiater membawa pulang Bu Eti
setelah beberapa minggu menjalani rawat inap. Wajah ramahnya sirna, yang tampak
hanya murung dan pucat pasi. Dokter mengatakan bahwa Ibu Sita menyimpan dan
menyembunyikan banyak luka. Sita sendiri
tak pernah tahu. Dia memang kerap melihat sang ibu berperilaku aneh. Sita
selalu mengajak beliau untuk periksa, tapi Bu Eti tak pernah mau. Selalu saja
ada alasan. Pasti hanya kurang istirahat, nanti minum teh hangat bisa
hilang sakitnya, Mungkin Ibu kurang tidur. Sepertinya Ibu jarang olahraga, besok
saja sama Sita, tunggu dia luang agar nggak mengganggu kuliahnya. Bu Eti
selalu berpikir demikian tiap kali merasa dirinya sakit.
Hari itu, Sita mengetahui penyakit jiwa Ibunya
bernama Scizophrenia. “Bu Eti sering berhalusinasi dengan membuat dunia
lain untuk bertemu Ayahmu. Dia kesulitan membedakan realita dan khayalan,” ungkap
psikiater. Usai berbicara intens dengan psikiater, Sita diam-diam pergi ke
kamar mandi. Dia menangis getir, tak bersuara. Siap tak siap, Sita harus
menerima kenyataan. (Latri Rastha Dhanastri)
Editor: Mutiara Fauziah Nur Awaliah
Tulis Komentarmu