Peringati Reformasi Indonesia, Para Jurnalis Khawatirkan Revisi UU Penyiaran
Suasana Aksi Memperingati 26 Tahun Reformasi dan Tanggapi RUU Penyiaran.(Sumber:Latri Rastha Dhanastri). |
Yogyakarta,
Sikap - Selasa, (21/05/2024)
diadakan aksi sebagai peringatan 26 tahun reformasi bertempat di Universitas
Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro. Kegiatan ini diusung oleh Forum Cik Di Tiro
dan Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD). Acara tersebut membahas Revisi Undang-undang UU Penyiaran yang kontroversial.
Pada
forum diskusi ini, terdapat 3 pemantik yaitu, Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Darmanto dari ketua
Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD), dan Pito Agustina dari jurnalis
Perempuan Yogyakarta.
Januardi
dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta menjadi moderator pada forum
ini, ia mengatakan bahwa “Diskusi ini menjadi momentum bagi jurnalis dan
teman-teman yang bekerja di bidang media menyuarakan bahwa kita menolak Revisi UU
penyiaran yang memuat pasal problematik, apabila kita dibiarkan akan menjadi
masalah pers di Indonesia,”ucapnya.
Dalam
penjelasannya, Eko menekankan 2 poin penting yaitu mengenai hak asasi manusia
dan tata kelembagaan negara. Ia membicarakan tentang penggunaan UU ITE, sebab lebih dari 25% digunakan oleh politisi untuk masyarakat sipil yang
mengkritik mereka. Ia juga menekankan bahwa kebebasan sipil, lingkungan,
ekonomi, udara yang bersih, dan air yang bersih juga harus sejajar.“Semua lembaga megara pasca
reformasi mati,”kata Eko. Dirinya juga menjelaskan bahwa peninjauan kembali Mahkamah
Agung bukan lagi peninjauan hukum tetapi peninjauan politik.
Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD) yang dibentuk pada Sabtu, 18 Mei 2024 oleh Darmanto. Dirinya memaparkan lebih dalam bahwa RUU Penyiaran jika disahkan bisa menjadi ancaman pagi pers Indonesia. Ia menilik ulang pada pasal 32 yang dibuat pasca reformasi, karena melalui pasal tersebut dibentuklah lembaga independen, lembaga penyiaran publik, dan lembaga penyiaran komunitas. Darmanto juga menjelaskan bahwa pada pasal 32 sangat terlihat jelas karakter Indonesia. Sayangnya, pasal 32 diamputasi semenjak disahkannya UU Cipta Kerja yang membahas tentang penyiaran berada di paragraf 15 pasal 72 halaman 513-517.“Dampaknya adalah penyiaran di Indonesia bukan lagi sebagai kontrol sosial sarana pendidikan, tetapi sebagai badan usaha atau bisnis,”ujarnya. Menurutnya, terdapat 1 pasal yang krusial sehingga merubah tatanan penyiaran.
Darmanto menegaskan sejak berlakunya UU Cipta Kerja konsep ke-Indonesiaan dalam penyiaran hilang. Eksistensi dari radio lokal komunitas, TV dan penyiaran publik lokal akan terancam apabila RUU Penyiaran disahkan. Tetapi TVRI, RRI, dan KPI tidak bereaksi jelas ada dipijak yang menguntungkan. "Pengesahan UU Penyiaran, Pancasila tidak lagi sebagai dasar pengguna. Justru menjadi ancaman bahkan kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Hentikan Pembahasan RUU Penyiaran!”ucapnya.
Sementara Pito Agustin menjelaskan bahwa revisi UU Penyiaran momok baru bagi jurnalis. Ia membayangkan jika revisi UU Penyiaran disahkan, mungkin jurnalis tidak bisa apa-apa dan tidak ada lagi jurnalis lapangan karena karya investigasi dilarang.“Ini menjadi momentum untuk kita tidak peduli kita berasal dari komunitas mana, forum mana, atau lembaga apa. Kita hanya perlu bersatu dan katakan bahwa kita menolak adanya revisi UU Penyiaran,”pungkasnya.
Forum
diskusi hari itu dilanjutkan dengan aksi penolakan RUU Penyiaran dan kemunduran
demokrasi di depan Museum TNI AD Wiratama. Kegiatan dimulai dengan orasi oleh
Januardi dari AJI Yogyakarta, Setelah itu dilanjutkan mengheningkan cipta dan
menaburkan bunga dan meletakkan 26 sebagai bentuk simbolis bahwa selama 26
tahun reformasi, demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. (Fadhilatul
Dewi dan Latri Rastha Dhanastri)
Editor:
Latri Rastha Dhanastri
Tulis Komentarmu