Pulang: Mereka yang Tersisihkan dari Negeri Sendiri
Sampul Novel berjudul Pulang karya Leila S. Chudori. (Sumber: www.google.com)
Identitas Buku
Jenis : Novel
Judul : Pulang
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2017
Suara SIKAP - Rumah adalah tempat pulang. Sebuah lingkungan yang nyaman untuk kembali setelah berpetualang dan akan selalu dirindukan ketika jauh dari kampung halaman. Hal ini juga dapat di simbolkan dalam berbagai bentuk, seperti bangunan tempat tinggal, orang yang kita sayang, tempat perlindungan, ataupun negara asal yang sering kita sebut Tanah Air. Akan tetapi, bagaimana jika seseorang yang sedang merantau tidak diperbolehkan untuk pulang ke tempat ternyaman yang sudah lama mereka rindukan.
Bermodal kemampuan menulis yang sangat mumpuni dan sudah ditekuni semenjak masa kecilnya. Seorang sastrawan Indonesia bernama Leila Salikha Chudori menuliskan kisah ini dalam sebuah buku yang berjudul ‘Pulang’. Ia menulis buku ini dalam 470 halaman, untuk menceritakan sejarah kelam negara Indonesia yang tidak ada dalam pelajaran sejarah sekolah. Dalam penulisan buku ini menunjukan sebuah karya tulis yang sangat indah, sehingga dapat mengontrol emosi pembaca dalam mendalami narasi yang di ceritakan dalam novel.
Pulang, sesuai dengan judulnya, novel ini mengisahkan empat orang eksil politik Indonesia yang menetap di Eropa dan tidak dapat kembali ke Tanah Airnya. Bukan karena enggan, namun kondisi negaralah yang tidak mengizinkan mereka untuk menginjakkan kaki kembali ke negerinya. Mereka yang ingin ‘pulang’ dipaksa untuk tetap tinggal di negeri orang dan menjaga idealismenya. Dilatarbelakangi tiga peristiwa penting yang saling bertaut, novel ini membawa pembaca untuk mengingat kembali kejadian bersejarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), Revolusi Perancis 1968, serta Indonesia Mei 1998.
Dimas Suryo, salah satu eksil politik Indonesia menjadi tokoh kunci dalam novel ini, dikarenakan latar belakang pekerjaannya sehingga dianggap sebagai simpatisan PKI. Dimas yang sedang berada di Perancis bersama beberapa kawannya tidak dapat kembali ke Indonesia karena paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia. Dimas senantiasa berkeinginan untuk pulang ke Indonesia, entah hidup ataupun mati. Sebab baginya, Indonesia adalah ‘rumah’, meskipun pemerintah maupun sebagian warganya mungkin tak mengharapkan kepulangannya. Dimas tiba di Perancis bertepatan dengan Revolusi Perancis dan akhirnya terdampar di kota ini. Disinilah ia memulai kehidupan yang baru. Ia menikahi seorang wanita asal Perancis hingga dikaruniai anak dan juga mencari nafkah di negara ini. Namun, jiwanya terasa terhenti di tahun 1965, di negaranya, Indonesia.
Anak dari Dimas Suryo bersama istrinya Vivine Deveraux diberi nama Lintang Utara Suryo. Ia berhasil masuk ke Indonesia pada tahun 1998 untuk meneliti tugas akhirnya mengenai pengalaman korban tragedi G30S/PKI. Melalui riset itu, Lintang mengetahui sejarah kelam berdarah di negerinya dan menemukan fakta yang menampar sisi kemanusiaannya. Lintang bersama Segara Alam, anak dari satu-satunya rekan Dimas, menjadi saksi dari salah satu tragedi sejarah besar di Indonesia yakni kerusuhan Mei 1998. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan lengsernya penguasa yang telah 32 tahun bertahta. Selang sebulan setelah peristiwa besar itu, Dimas dapat pulang ke Indonesia, meskipun hanya jasadnya yang dikubur di Pemakaman Karet, Jakarta.
Novel ini adalah manifestasi dari adanya kesadaran akan perjalanan sejarah yang tak dijelaskan di buku-buku pelajaran sekolah. Sebuah ingatan yang perlu diwariskan agar generasi mendatang tidak mengulangi sejarah kelam yang pernah terjadi. Melalui novel ini, pembaca dapat mengingat beberapa sejarah yang dahulu sempat dilupakan, serta dapat melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda. (Pelangi Aulia Ramadhani Augusta)
Editor: Romadhon
Tulis Komentarmu